1. SPIRITUAL DAN RELIGIUSITAS
Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan
agama/religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog membuat
beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual mempunyai beberapa
arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan
spirit atau menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan spirit selalu
dihubungkan sebagai factor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan
energi baik secara fisik dan psikologi,
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa
latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare”
yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk
bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual
berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian
atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai
makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari
keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.
Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan
spirit , sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang
berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan
Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin
terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama ,
tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat
merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi,
lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup
seseorang,dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi. Salah satu
aspek dari menjadi spiritual adlah memiliki arah tujuan, yang secara
terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari
seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam
semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari
alat indra , perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa aspek
spiritual memiliki dua proses , pertama proses keatas yang merupakan
tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan
Tuhan , kedua proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan realitas
fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan
timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana
nilai-nilai ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar melalui
pengalaman dan kemajuan diri,
Apakah ada perbedaan antara spiritual dan religius, spiritualitas ádalah
kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal , tujuan dan nasib.
Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi
fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang
dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu
yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi
tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian
iman , komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan
jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) ,
sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang
(prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu ,
namun memiliki spiritualitas . Orang – orang dapat menganut agama yang
sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas
yang sama.
2. TAHAPAN PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN MENURUT FOWLER
A. Biografi Singkat Fowler
James Fowler adalah seorang teolog, profesor universitas, human
development theorist, dan United Methodist menteri yang telah menulis
secara luas tentang gagasan iman. Dia memegang posisi mengajar di
Harvard Divinity School dan Boston College pada awal 1970, dan telah
mengajar di Emory University sejak tahun 1977.Dia adalah seorang ahli di
bidang agama dan psikologi, dan etika dan kehidupan publik, dan penulis
beberapa buku.
Ayahnya adalah Methodis menteri dan ibunya seorang QuakerMy mother, a
Quaker, adopted his Methodist. Istrinya, Lurline, adalah seorang
Direktur Pendidikan Kristen di Universitas DrewTheological Seminary in
Madison, New Jersey, where both of us stud- Theological Seminary,
Madison, New Jersey.
Fowler menunjukkan bahwa iman mengalami proses pembangunan. Ide-idenya
mengikuti sepanjang garis tahap-teori Jean Piaget, Erik Erikson &
Lawrence Kohlberg.
Iman yang diteliti oleh Fowler berupa sebuah aktivitas manusia yang
universal, sebuah orientasi hidup yang mungkin atau mungkin tidak
religious. Hal tersebut dapat dicirikan sebagai proses yang terpisah
namun berpusat mendasari pembentukan keyakinan, nilai, makna yang
memberi koherensi dan arah bagi kehidupan orang, jaringan yang mereka
bentuk untuk berbagi kepercayaan dan kesetiaan dengan orang lain, alasan
pribadi mereka, sikap dan loyalitas komunal dalam arti keterkaitan
untuk kerangka acuan yang lebih besar, dan memungkinkan mereka untuk
menghadapi serta menangani kondisi batas kehidupan manusia, mengandalkan
yang memiliki kualitas ultimasi dalam hidup mereka.
B. Konsep – konsep Teori Fowler
James W. Fowler mengembangkan suatu teori yang disebutnya “Faith
Development Theory”. Teorinya ini lebih menjurus pada psikologi agama.
Namun pendekatannya ini membantu kita dalam memahami tahapan
perkembangan kepercayaan seorang manusia dan satu komunitas. Atau
membantu dalam memahami alasan-alasan mengapa dan bagaimana seorang
menjadi percaya atau beragama.
Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu
menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah
subyek yang bermakna dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau
pada iman (faith), dan kepercayaan (belief) atau agama.
Proses memberi makna itu yang memperlihatkan bahwa manusialah yang
menyusun suatu penjelasan terhadap berbagai pengertian yang semula tidak
tersusun secara rapi. Fenomena-fenomena percaya awal adalah suatu
susunan pemikiran dan pengertian yang ‘talamburang’ (tidak teratur).
Manusialah yang menyusunnya. Dalam proses penyusunan itu manusia juga
yang mencari suatu material/simbol (sign) yang sinonim atau bisa
merepresentasi hal yang dipercayainya itu. Karena itu menjadi percaya,
atau iman adalah juga suatu proses semantik yang dibuat oleh manusia.
Rupanya Fowler tidak mau terlalu dipusingkan dengan hal-hal semantik itu
seperti halnya para antropolog agama seperti E.B. Tylor (di masa
Klasik) atau Ruth Benedict dan Fiona Bowie (di masa modern).
Sederhananya bagi Fowler ialah ‘faith’ dimengertinya sebagai sesuatu
yang luas dari sekedar ‘kepercayaan’ (belief), walau keduanya sinonim
dengan ‘tindak pengartian’ (upaya memberi arti/menjelaskan). Sebab
kepercayaan menyangkut mental untuk menciptakan, memelihara dan
mentransformasi arti. Hasilnya adalah apa yang disebutnya sebagai
‘kepercayaan eksistensial’.
Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya merupakan suatu kegiatan
relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu’. Maka
kepercayaan eksistensial diawali oleh ‘rasa percaya’. ‘Sayapercaya dalam
arti bahwa saya menyerahkan diri seluruhnya dan mengandalkan engkau’.
Hal itu berarti tiga hal. Pertama, kepercayaan sebagai cara seorang
pribadi (atau kelompok) melihat hubungannya dengan orang lain, dengan
siapa ia merasa dirinya bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah
tujuan dan pengartian yang dimiliki bersama.
Ini menjurus pada adanya suatu ajaran yang membentuk ranah kognisi dalam
hal menjadi percaya. Tetapi juga suatu sistem praktek yang membentuk
ranah afeksi dan motorik.
Kedua, kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi
menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang
berlangsung dalam segala lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan
kompleks.
Aktifitas menafsir (interpretation) dan menjelaskan (clarification) di
sini mengamanatkan bahwa kepercayaan adalah bagian dari suatu
hermeneutika kehidupan, yang terkait bukan dengan dokumen-dokumen kudus
yang turut menyusun dogma agama melainkan dokumen-dokumen kehidupan yang
selalu dijumpai manusia dalam pengalaman nyata di masyarakat/dunianya.
Ketiga, kepercayaan sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan
kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan
sesamanya. Di sini ditentukan mana ‘gambaran penuntun’ mengenai yang
ultim yang akhirnya dapat menggerakkan dan menjadi acuan hidup kita.
Pengertian Spiritual Quotient (SQ)
Pengertian Spiritual Quotient (SQ)
Pada sisi ini muncul seperangkat etika dalam agama, serta ajaran mengenai Tuhan sebagai yang utama.
Untuk merinci isi dari kepercayaan itu, Fowler membedakan antara fides
quae creditur, yaitu substansi dan isi kognisi dari hal yang dipercayai,
dan fides qua creditur yakni cara kita percaya akan hal tersebut.
Dengan demikian kepercayaan selalu ada dalam dialektika antara ajaran
untuk menjadi percaya dan cara/praktek menjadi percaya. Apa yang disebut
percaya tidak sekedar menerima secara taken for granted tetapi belajar
secara kritis melalui praksis. Sebab apa yang menjadi isi kognisi
(ajaran) sesungguhnya adalah kumulasi dari apa yang dialami dalam hidup
sehari-hari.
Beberapa teolog lain seperti John B. Cobb, jr, menunjukkan bahwa hal
menjadi percaya baru datang pada saat manusia melakoni aktitifitas
sehari-hari (dailiy activity). Maka kepercayaan juga ditentukan oleh
aktifitas dan peran sosial/tanggungjawab.
C. Perkembangan Individual berdasar Teori Fowler
Keimanan agama individu berkembang dalam beberapa tahapan. Menurut James
W.Fowler, tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
· Tahap 0: Kepercayaan Elementer Awal (Primal Faith)
Tahap ini timbul sebagai Tahap 0 (nol) atau Pratahap (pre-stage, yaitu
masa orok, bayi, 0 sampai 2 atau 3 tahun). Kepercayaan ini disebut juga
pratahap “kepercayaan yang belum terdiferensiasi (undifferentiated
faith), karena: ciri disposisi praverbal si bayi terhadap lingkungannya
yang belum dirasakan dan disadari sebagai hal yang terpisah dan berbeda
dari dirinya, dan daya-daya seperti kepercayaan dasar, keberanian,
harapan dan cinta (serta daya-daya lawannya) belum dibedakan lewat
proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu ama lain dalam
suatu keadaan kesatuan yang samar-samar. Rasa percaya elementer ini
bersifat pralinguistis (sebelum tumbuh kemampuan membahasa), praverbal,
dan prakonseptual.
Tahapan ini disebut “tahapan primal”. Benih iman pada kurun hidup paling
dini ini terbentuk oleh “rasa percaya si anak pada orang-orang yang
mengasuhnya” dan oleh “rasa aman yang dialaminya di tengah
lingkungannya”. Seluruh interaksi timbal-balik antara si anak dan
orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan
imannya. Interaksi yang mendukung perkembangan iman adalah interaksi
yang menumbuhkan keyakinan pada dirinya, bahwa ia adalah insan yang
dicintai dan dihargai.
· Tahap 1: Kepercayaan Intuitif-Proyektif (Intuitive-Projective Faith)
Tahapan ini disebut tahapan intuitif proyektif. Pola eksistensial yang
intuitif-proyektif menandai tahap perkembangan pertama (umur 3-7 tahun)
karena daya imajinasi dan gambaran dunia sangat berkembang. Apa yang
dialami di Tahap 0 (nol) menjadi hal yang sangat berarti dalam Tahap 1.
Dunia pengalaman sudah mulai disusun melalui seperangkat pengalaman
inderawi dan kesan-kesan emosional yang kuat. Namun kesan-kesan itu
diangkat ke dalam alam imajinasi. Walau demikian, pada tahap ini anak
sudah mulai peka terhadap dunia misteri dan Tuhan serta tanda-tanda
nyata kekuasaan.
Unsur terpenting pada tahapan ini ialah intuisi si anak, yang sifatnya
belum rasional. Intuisi tersebut dipakainya untuk memaknai dunia di
sekitarnya. Intuisi itu memungkinkannya menangkap nilai-nilai religius
yang dipantulkan oleh para tokoh kunci (yakni ayah, ibu, pengasuh,
paman, bibi, pemuka agama, dan sebagainya). Maka, pada tahapan ini si
anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai Sang Tokoh yang mirip
dengan ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, atau tokoh berpengaruh yang
lain.
Pada tahapan ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan hormat
pada tokoh-tokoh kunci itu. Anak aktif bertanya akibat pikiran bebasnya
yang belum sepenuhnya terkonstruksi. Anak dipengaruhi oleh contoh,
suasana hati, simbol dan tindakan orang dewasa primer. Mereka sesulitan
dalam membedakan kenyataan dan fantasi.
· Tahap 2: Kepercayaan Mitis-Harfiah (Mithic-Literal Faith)
Bentuk kepercayaan ini muncul sebagai tahap kedua (umur 7-12 tahun). Di
sini mulai tumbuh operasi-operasi logis terhadap pengalaman imajinatif
di Tahap 1. Operasi-operasi logis itu mulai bersifat konkret, dan
mengarah pada adanya kategori sebab-akibat. Di sini anak berusaha mulai
membedakan antara perspektifnya sendiri dan perspektif orang lain, serta
memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan (perspektif)
orang lain. Kemampuan untuk menguji dan memeriksa perspektifnya sudah
mulai tersusun baik, walau pada tingkat moral, anak belum bisa menyusun
dunia batin seperti perasaan, sikap dan proses penuntun batiniah yang
dimilikinya sendiri.
Tahapan ini disebut “tahapan mistis literal”. Pada tahapan ini yang
paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau
institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok
pembinaan agama, sekolah, atau kelompok sekolah berfungsi sebagai sumber
pengajaran iman. Pengajaran itu paling mengena kalau disampaikan dalam
bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah
rekaan cenderung diterima olehnya secara harafiah. Usaha-usaha
pengembangan iman anak pada tahapan ini seyogyanya tetap dilaksanakan
dengan cara sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran.
· Tahap 3: Kepercayaan Sintetis-Konvensional (Synthetic-Conventional Faith)
Tahap ini muncul pada masa adolesen (umur 12-20 tahun). Di sini muncul
kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai
mengambil alih pandangan pribadi rang lain menurut pola pengambilan
perspektif antar-pribadi secara timbal balik. Disini sudah ada kemampuan
menyusun gambaran percaya, termasuk kepada Tuhan.
Interpersonal yang ada membuat dunia ini menjadi hidup dan individu
dapat berpikir tentang hipotetis untuk 'mensintesis' iman yang masih
umum. Ada kelaparan yang mendalam untuk diterima oleh orang-orang
disekitarnya. Tapi ide yang ditampilkan tersebut belum tentu kritis,
diperiksa atau direnungkan.
· Tahap 4: Kepercayaan Individuatif-Reflektif (Individuative-Reflective Faith)
Tahap ini muncul pada umur 20 tahun ke atas (awal masa dewasa). Pola ini
ditandai oleh lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat,
keyakinan, dan nilai (religius) lama. Pribadi sudah mampu melihat diri
sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem kemasyarakatan,
tetapi juga yakin bahwa dia sendirilah yang memikul tanggungjawab atas
penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya
untuk mengikatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh
hubungan dan pangilan tugas.
Disebut ‘individuatif’ karena baru saat inilah manusia tidak semata-mata
bergantung pada orang lain, tetapi dengan kesanggupannya sendiri mampu
mengadakan dialog antara berbagai diri; sebagaimana dilihat dan
dipantulkan orang-orang dengan ‘diri sejati’ yang hanya dikenal oleh
pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Manusia mengalami dirinya sebagai
yang khas, unik, aktif, kritis, kreatif penuh daya.
Ada dua perubahan utama dalam tahap ini: Individuasi dan refleksi
kritis. Siri sendiri dibedakan dari grup. Independen identitas terbentuk
sebagai cerminan terjadi dan kritis memilih kepercayaan sendiri,
nilai-nilai dan komitmen.
· Tahap 5: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (Conjunctive Faith)
Kepercayaan eksistensial konjungtif timbul pada masa usia pertengahan
(sekitar umur 35 tahun ke atas). Tahap ini ditandai oleh suatu
keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan,
paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya.
Kebenaran hanya akan dicapai melalui dialektika, karena sadar bahwa
manusia memerlukan suatu tafsiran yang majemuk. Di sini beragama dan
kepercayaan juga dibayang-bayangi oleh simbol, metafora, cerita, mitos,
dan lain-lain yang memerlukan penafsiran kembali.
Ada
· Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial yang Mengacu pada Universalitas (Universalizing Faith)
Kepercayaan ini berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Individu
melampaui tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya hidupnya
langsung berakar pada kesatuan dengan Tuhan, yaitu pusat nilai,
kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Individu sudah berhasil
melepaskan diri (kenosis) dari egonya dan dari pandangan bahwa ego
adalah pusat, titik acuan, dan tolok ukur kehidupan yang mutlak.
Perjuangan akan kebenaran, keadilan, dan kesatuan sejati berdasarkan
semangat cinta universal ini secara antisipatif menjelmakan daya dan
dinamika Tuhan sebagai persekutuan cinta dan kesetiakawanan antara
segala sesuatu yang ada.
Ada rasa keutuhan dan keinginan untuk bertindak berdasarkan apa yang
baik bagi semua orang di mana pun. Mereka memiliki mimpi dan akan
bertindak dengan komitmen yang mendalam, seringkali juga dengan biaya
pribadi. Iman dan visi moral menjadi lebih universal.
D. Aplikasi Teori Fowler
Dalam aplikasinya, perkembangan iman individu biasanya berlangsung dalam
konteks atau ruang lingkup yang diwarnai oleh beberapa hal berikut,
yaitu :
· Teladan tokoh-tokoh identifikasi
Iman biasanya tumbuh saat mengamati dan mengikuti tokoh-tokoh
identifikasi, secara spontan dan belum terlalu disadari. Tokoh-tokoh
identifikasi tersebut adalah orang-orang dewasa yang terpenting dan
terdekat, yakni orangtua. Sikap dan perilaku mengacu pada sikap atau
perilaku dari orang-orang dewasa yang dihormati, tokoh-tokoh panutan.
Kemampuan seorang anak untuk memahami sesuatu secara abstrak biasanya
masih sangat terbatas. Ia lebih mampu memahami sesuatu dengan melihat
contoh-contoh yang konkrit dan cenderung mengikuti contoh-contoh
tersebut. Maka, sejak usia dini, para anggota keluarga perlu saling
membantu dalam memupuk iman.
· Suasana
Yang dimaksud dengan suasana adalah keadaan dari suatu tempat. Suasana
itu sulit dirumuskan, tetapi mudah dirasakan atau dialami. Misalnya,
pengaruh suasana rumah sangatlah besar, apalagi bila hal itu dialaminya
selama bertahun-tahun. Suasana lingkungan sekitar individu mempengaruhi
pola pikir individu itu sendiri, termasuk perkembangan keimanannya.
· Pengajaran
Keteladanan kadang-kadang bersifat agak tersembunyi. Maka keteladanan
itu sebaiknya juga diperkuat dengan pengajaran, yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan daya tangkap individu sesuai tingkatan usia dan
tahapan-tahapan perkembangan kepribadiannya.
· Komunikasi
Komunikasi antara semua anggota keluarga merupakan faktor pendukung
perkembangan iman yang tak tergantikan. Memang, hal-hal yang
di-komunikasikan tidak perlu selalu langsung mengenai iman. Meskipun
demikian, isi komunikasi itu sebaiknya dapat memperluas wawasan iman dan
menjadi sumber inspirasi iman. Sementara itu, bentuk-bentuk komunikasi
sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, misalnya : kebiasaan
berterus-terang atau sembunyi-sembunyi, kebebasan berpikir atau ketaatan
buta. Proses globalisasi sekarang ini membuka kemungkinan munculnya
bentuk-bentuk komunikasi yang baru.
Seorang remaja belasan tahun tentunya akan berbeda dengan orang dewasa
dalam menyikapi iman yang ada dalam dirinya. Orang dewasa lebih memiliki
kesadaran yang tinggi, sehingga tidak heran jika kita menemukan orang
dewasa yang begitu taat beragama, padahal di masa mudanya ia adalah
seorang yang acuh tak acuh. Namun tidak menutupi pula, pada usia yang
lebih dini, sebelum dikatakan dewasa sepenuhnya, seorang individu sudah
berkembang lebih cepat dalam pemahaman imannya.
Dalam kehidupan, tahapan-tahapan perkembangan iman tersebut perlu
diperhatikan dalam melakukan pendidikan agama, setidaknya bagi diri
sendiri. Dengan mengetahui tahapan-tahapan tersebut, hal tersebut akan
mempermudah kita dalam memahami perkembangan iman yang terjadi pada diri
sendiri. Apabila terjadi hambatan pada tahap tersebut, kita akan mampu
mencari solusinya, meskipun bisa saja dengan campur tangan orang lain.
3. TAHAPAN PERKEMBANGAN SPIRITUAL SUFISTIK
Sufisme atau Tasawwuf (bahasa Arab: تصوف) adalah, menurut para
penganutnya, adalah sebuah dimensi mistik dalam Islam. Seorang praktisi
tradisi ini umumnya dikenal sebagai seorang sufi (صوفي).
Tokoh sufi klasik mendefinisikan tasawuf sebagai "ilmu yang tujuannya
adalah memperbaiki hati dan menjauhkannya dari semua yang lain kecuali
Allah."
Ahmad bin Darqawi Ajiba mendefinisikan sufi sebagai "ilmu pengetahuan
yang bisa membantu seseorang mengetahui bagaimana perjalanan menuju
hadirat Tuhan, memurnikan diri sendiri dari kotoran batin, dan
memperindahnya dengan berbagai sifat terpuji."
Sufi klasik ditandai dengan keterikatan mereka terhadap zikir. Sufisme
mendapat banyak pengikut sebagai reaksi terhadap keduniawian di awal
Kekhalifahan Umayyah (661-750 M. Gerakan sufi menyebar ke beberapa benua
dan kebudayaan lebih dari seribu tahun yang lalu, pada awalnya melalui
bahasa Arab, namun kemudian melalui bahasa Persia, Turki dan selusin
bahasa lain.
Menurut Idries Shah, filsafat sufi bersifat universal, akar-akarnya
mendahului timbulnya agama Islam dan agama modern lainnya. Beberapa
muslim menganggap Sufisme di luar lingkup Islam.
Untuk memasukki jalan tasawuf, para pencarinya memulai dengan mencari
seorang guru. Para ahli dan penganut tasawuf sepakat bahwa tasawuf tidak
dapat dipelajari melalui buku-buku. Untuk mencapai keberhasilan dalam
Sufisme, seorang murid biasanya harus tinggal bersama dan melayani
gurunya selama bertahun-tahun. Misalnya, Baha-ud-Din Naqshband, dianggap
sebagai pendiri aliran Naqshbandi, melayani guru pertamanya, Sayyid
Muhammad Baba As-Samasi, selama 20 tahun, sampai as-Samasi meninggal.
Contoh lain adalah, para calon pengikut aliran Mevlevi akan
diperintahkan bekerja di dapur sebuah rumah perawatan bagi masyarakat
miskin untuk 1.001 hari sebelum menerima instruksi spiritual, dan 1.001
hari lainnya diharuskan menyepi dari dunia luar sebagai prasyarat.
Beberapa guru, terutama ketika menangani audiens yang lebih umum, atau
campuran kelompok Muslim dan non-Muslim, membuat ekstensif menggunakan
perumpamaan, alegori, dan metafora. Meskipun pendekatan antara sufi
berbeda, secara keseluruhan Sufisme selalu berkaitan dengan pengalaman
pribadi langsung, dan oleh karena itu kadang-kadang dibandingkan dengan
lainnya, bentuk-bentuk non-Islam mistik (misalnya, seperti dalam
buku-buku Sayyed Hossein Nasr).
Awalnya, kekhasan sufi adalah tinggal di masjid dan mengajar sekelompok
kecil murid. Sejauh mana Sufisme dipengaruhi oleh Hindu Buddha dan
mistisisme, dan contoh pertapa Kristen dan rahib, diperselisihkan. Pada
tahap awal pengembangannya, tasawuf dimaksudkan tidak lebih dari sekadar
internalisasi Islam. Menurut satu perspektif, tasawuf adalah
interprestasi secara langsung dari Al Qur'an, terus membacanya, dan
menyepi atau memisahkan dari dunia luar.
Dari sudut pandang Sufi tradisional, ajaran-ajaran Sufisme diyakini
hanya terjadi pada mereka yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan
pengalaman langsung dari Tuhan, yang diturunkan dari seorang guru kepada
muridnya selama berabad-abad. Uwais al-Qarni, Harrm bin Hian, Hasan
Basri dan Sayid bin Al-Mussib dianggap sebagai Sufi pertama di generasi
awal Islam. Harits al-Muhasibi adalah orang pertama yang menulis
psikologi tentang moral. Rabia Basri dikenal sufi yang cinta dan
semangat hidupnya untuk Allah, dan dinyatakan melalui puisinya. Dan
Bayazid Bustami merupakan salah satu teoretisi pertama tasawuf.
Sufisme memiliki sejarah panjang sebelum berubah menjadi ajaran tariqat
pada Abad Pertengahan awal. Gaya dan tradisi sufisme yang dikembangkan
dari waktu ke waktu, mencerminkan perspektif yang berbeda.
Praktik-praktik Sufi sangat bervariasi. Hal ini karena berhubungan erat
dengan doktrin seorang guru tertentu. Konsensus yang berlaku di antara
para pelaku tasawuf adalah bahwa para pencari atau penganutnya tidak
dapat menuntun dirinya sendiri, dan selalu sangat berbahaya untuk
melakukan salah satu praktik sendirian.
Sebagian berpendapat dalam Islam, bahwa tasawuf adalah menyimpan dunia
di tangan, bukan di hati. Artinya, urusan dunia tetap dijalankan tapi
untuk tujuan akhirat, bukan tujuan akhir. Tetapi pada perkembangannya,
banyak juga para sufi yang malah benar-benar meninggalkan urusan dunia
sepenuhnya, dan hanya fokus pada urusan akhirat saja..
"Innama a'malu bin niat"